Dalam tubuh, kalsium, dalam bentuk ion Ca2+, merupakan ion logam yang paling melimpah dan merupakan unsur ke-lima yang paling melimpah dalam tubuh (setelah H, O, C, dan N), baik berdasarkan atom maupun berdasarkan bobotnya. Lebih dari 90% kalsium terdapat dalam tulang dan email gigi. Sisanya, yang disebut sebagai Ca2+ mobile, ditemukan dalam cairan tubuh dan turut andil dalam berbagai proses, termasuk kontraksi otot, pembekuan darah, komunikasi interseluler, transport molekul dalam membran, eksositosis respons hormonal, penggabungan, adhesi dan pertumbuhan sel.
Kalsium mobile merupakan sebuah duta umum untuk makhluk hidup, bahkan pada organisme dan tanaman yang sederhana sekalipun. Kombinasi unik antara radius ionik dan muatan gandanya memungkinkana Ca2+ untuk dikenali secara spesifik dan untuk menghasilkan pengikatan yang lebih kuat ke reseptor-reseptor untuk menyingkirkan ion-ion lain, sehingga mengarah pada pengikatan yang spesifik struktur. Spesifitas ini memungkinkan sel membentuk reseptor-reseptor khusus untuk menilai sinyal-sinyal dari kalsium. Untuk berbagai bagian tubuh, Ca2+ sering bertindak sebagai duta kedua dengan cara yang serupa dengan cAMP. Peningkatan sementara konsentrasi Ca2+ sistolik memicu berbagai respons seluler termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter, dan penguraian glikogen (glikogenolisis), juga bertindak sebagai sebuah pengaktivasi penting untuk metabolisme oksidatif. Ca2+ tidak perlu disintesis dan didegradasi dengan masing-masing transmisi pesan, sehingga merupakan komunikasi yang efisien energi dalam sel.
Pada kulit, kalsium bisa memberikan sinyal untuk sel-sel, baik ekstraseluler maupun intraseluler (dalam sitosol). Komunikasi ekstraseluler dan intraseluler bisa dihubungkan satu sama lain, tetapi juga bisa beraksi secara terpisah. Pada keratinosit-keratinosit yang dikulturkan, kadar kalsium ekstraseluler mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kadar kalsium ekstraseluler yang rendah (< 0,1 mM) menginduksi pertumbuhan keratinosit sebagai sebuah ekalapis (monolayer) dengan laju proliferasi tinggi, cepat menjadi berhimpit. Pada kondisi ini keratinosit memiliki banyak karakteristik seperti yang dimiliki oleh sel-sel basal: mensintesis protein keratin dan dihubungkan oleh gap junction tetapi tidak oleh desmosom. Kadar kalsium ekstraseluler yang tinggi (> 1 mM) menginduksi diferensiasi keratinosit. Keratinosit dengan cepat menjadi rata, membentuk desmosom dan berdiferensiasi dengan stratifikasi. Disamping itu, cornified envelopes terbentuk pada lapisan-lapisan teratas.
Respons terhadap sinyal juga ditunjukkan terjadi secara progresif. Keratinosit yang ditumbuhkan dalam medium kalsium berproliferasi. Ca2+ ekstraseluler yang meningkat menghambat proliferasi, disamping menginduksi diferensiasi. Disisi lain, diferensiasi keratinosit menyebabkan menurunnnya daya-respons terhadap kalsium ekstraseluler, yang bisa mempermudah penjagaan kadar kalsium intraseluler tinggi yang diperlukan untuk diferensiasi.
Ca2+ intraseluler meningkat seiring dengan meningkatnya Ca2+ ekstraseluler. Ini menunjukkan bahwa Ca2+ intraseluler yang meningkat merupakan sinyal aktual untuk memicu diferensiasi keratinosit. Sinyal Ca2+ intraseluler dinilai melalui protein-protein pengikatan kalsium untuk menginduksi respons. Protein pengikat kalsium utama dalam kulit adalah calmodulin. Calmodulin meregulasi banyak enzim, sebagai contoh, adenin dan guanil siklase, fosfodiesterase, ornitin dekarboksilase, kinase protein yang dependen kalsium-calmodulin, transglutaminase, dan fosfolipase, yang juga ditemukan dalam kulit.
Pelepasan intraseluler dan aliran transmembran keduanya berkontirbusi terhadap peningkatan kadar Ca2+ intraseluler. Peningkatan kadar Ca2+ intraseluler keratinosit sebagai respon terhadap kadar Ca2+ ekstraseluler yang meningkat memiliki dua tahapan: (a) puncak awal, tidak tergantung pada kadar Ca2+ ekstraseluler dan (b) fase akhir yang memerlukan Ca2+ ekstraseluler. Sebuah respons awal dari keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler. Respons awal keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler diikuti dengan peningkatan Ca2+ intraseluler. Penambahan Ca2+ ekstraseluler secara bertahap ke dalam keratinosit manusia diikuti dengan peningkatan progresi Ca2+ intraseluler, dimana tahap awal peningkatan Ca2+ intraseluler diikuti dengan puncak Ca2+ intraseluler yang lebih tinggi. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit dihilangkan oleh Ca2+ ekstraseluler 2,0 mM. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit menyerupai respons pada sel-sel paratiroid, dimana peningkatan Ca2+ yang cepat dan sementara diikuti dengan peningkatan Ca2+ yang lama di atas tingkat dasar. Respons multitahap ini dikaitkan dengan pelepasan awal Ca2+ dari bagian-bagian intraseluler diikuti dengan influks Ca2+ yang meningkat melalui saluran kation yang independen voltase. Keratinosit sel paratiroid mengandung sebuah reseptor kalsium membran sel serupa yang dianggap memperantarai respons ini terhadap Ca2+ ekstraseluler. Reseptor ini bisa mengaktivasi jalur C-fosfolipase, yang mengarah pada peningkatan kadar inositol 1,4,5-trifospat (IP3) dan sn-1,2-diasilgliserol (DAG) – keduanya merupakan duta yang penting – serta menstimulasi influks Ca2+ dan arus klorida. IP3 menyebabkan pelepasan Ca2+ dari bidang-bidang internal, seperti retikulum endoplasmik, yang lebih lanjut meningkatkan kadar intraseluler mendahului beberapa kejadian seluler yang terstimulasi kalsium. DAG membentuk sebuah kompleks kuartener dengan fosfatidilserin, kalsium, dan protein kinase C untuk mengaktivasi kinase. Ini akan mempercepat diferensiasi terminal (Hennings dkk., 1983). Transduksi sinyal yang diperantarai melalui calmodulin menginduksi protein-protein lain, misalnya, desmoclamin, yang terkait dengan pembentukan desmosom.
Keratinosit-keratinosit yang tumbuh dalam medium berkalsium rendah (0,02 mM) menjaga kadar kalsium intraseluler yang memadai untuk metabolisme asam arachidonat dan menunjukkan produksi prostaglandin yang meningkat (utamanya PGE2 dan PGF2) hingga sampai 4,5 kali dibanding dengan sel-sel yang tumbuh pada kadar kalsium normal (1,2 mM). Jika ini benar untuk kondisi in vivo, maka kadar kalsium ekstraseluler yang rendah – misalnya, akibat skin barrier yang cacat – bisa menyebabkan peningkatan sintesis prostaglandin, menyebabkan gangguan-gangguan epidermal hiperproliferatif, seperti psoriasis, yang sering terkait dengan abnormalitas-abnormalitas pada produksi prostaglandin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar